abuja‟far berkata maksud firman-nya, "janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan", adalah "janganlah kalian mengubur hidup-hidup anak-anak kalian sehingga membunuhnya karena takut jika kalian menafkahi mereka maka kefakiran akan menimpa kalian dan anak kalian, bukan kalian yang memberi rizeki kepada
Ilustrasi. Foto – وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلَاقٍ ۖ نَّحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَإِيَّاكُمْ ۚ إِنَّ قَتْلَهُمْ كَانَ خِطْئًا كَبِيرًا ﴿٣١ “Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezeki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.” QS. Al-Israa’ 31 Ayat suci di atas menunjukkan bahwa sesungguhnya kasih sayang Allah SWT kepada hamba-hamba-Nya melebihi kasih sayang orang tua terhadap anak-anaknya. Allah melarang membunuh anak-anak dan Dia mensyari’atkan bahwa anak-anak berhak mendapat warisan dari orang tua mereka. Apalagi, telah menjadi kebiasaan pada orang-orang jahiliyah, mereka tidak mau memberikan hak waris kepada anak perempuan. Bahkan di antara mereka terkadang ada yang sampai tega membunuh anak perempuannya supaya tidak menambah beban hidup. Oleh karena itulah, Allah melarang perbuatan-perbuatan tersebut dengan firman-Nya { وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلَاقٍ } “Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan” dikemudian hari. Dan karena itulah Allah SWT mendahulukan penyebutan rizki anak, yakni pada firman-Nya { نَّحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَإِيَّاكُمْ } “Kami-lah yang akan memberi rizki kepada mereka anak-anak dan juga kepadamu.” Dan dalam surat al-An’aam juga disebutkan “Janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut miskin. Kami akan memberi rizki kepadamu dan kepada mereka.” QS. Al-An’aam 151. Firman Allah SWT, {إِنَّ قَتْلَهُمْ كَانَ خِطْئًا كَبِيرًا } “Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.” Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud ia berkata, “Aku bertanya, Wahai Rasulullah, dosa apakah yang paling besar?’ Beliau menjawab, Yaitu bahwa kamu menjadikan sekutu bagi Allah, padahal Dia-lah yang telah menciptakanmu.’ Kemudian apa?’ Aku kembali bertanya. Beliau menjawab, Membunuh anak karena takut ia akan ikut makan bersamamu.’ Kemudian apa?’ aku bertanya lagi. Beliau menjawab, Bahwa kamu berzina dengan istri tetanggamu.” HR. Al-Bukhari dan Muslim. [ == Sumber Kitab Shahih Tafsir Ibnu Katsir jilid 5, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir Dan jangan kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rizki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar". (QS. Al-Isrā‟ [17]: 31) Allah swt memulai ayat tersebut dengan jangan membunuh anak-anak, dan mengubur anak-anak perempuan sebagaimana dalam firmanMEMBUNUH anak keturunan karena takut atau khawatir kemiskinan, karena malu, atau sebab dan motivasi lainnya merupakan dosa besar. Terdapat sebuah kasus di mana orang tua membuang anaknya semata-mata karena gagal KB. Sebetulnya dia ingin hanya memiliki dua anak saja dan tidak ingin hamil lagi, namun ternyata Allah Ta’ala memberikan keturunan berupa anak yang ke tiga. Sehingga dia buang anaknya tersebut karena tidak merasa menginginkannya. Dan banyak sekali kasus pembunuhan atau pembuangan anak oleh orang tuanya sendiri di sekitar kita. Apapun motivasinya, membuang atau membunuh anak adalah dosa besar. Allah Ta’ala berfirman, “Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezeki kepada anak-anak mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.” QS. Al-Isra’ 31 BACA JUGA Membunuh Semut, Bagaimana Menurut Islam? Dalam ayat ini, Allah Ta’ala mengatakan “karena takut kemiskinan.” Artinya, kondisi orang tua ketika itu masih berkecukupan. Namun orang tua kawatir jika menambah anak, akan menyebabkan mereka jatuh miskin. Oleh karena itu, Allah Ta’ala katakan, “Kamilah yang akan memberi rezeki kepada anak-anak mereka dan juga kepadamu.” Allah Ta’ala dahulukan penyebutan rezeki sang anak, lalu menyebutkan jaminan rezeki bagi orang tua, sebagai jaminan bahwa Allah Ta’ala akan benar-benar menjamin rezeki sang anak sehingga tidak selayaknya orang tua khawatir anak-anak mereka akan menyebabkan mereka jatuh miskin. Allah Ta’ala juga befirman, “Katakanlah, Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu yaitu, janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapak, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena miskin, Kami akan memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka.” QS. Al-An’am 151 Berbeda dengan ayat sebelumnya, dalam ayat ini Allah Ta’ala katakan, “karena miskin.” Artinya, orang tua sudah berada dalam kondisi miskin. Kalau anak bertambah, maka dia khawatir akan semakin miskin sehingga akhirnya dia membunuh anaknya. Oleh karena itu, Allah Ta’ala dahulukan penyebutan jaminan rezeki bagi orang tua sebelum jaminan untuk sang anak, dalam firman-Nya, “Kami akan memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka.” Karena dalam kasus ini berkaitan dengan kekhawatiran rezeki bagi orang tua yang sudah jatuh miskin. BACA JUGA Takut Miskin karena Bersedekah, Ketahuilah Hal Ini Ibnu Mas’ud radhiyallahu anhu bertanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, “Dosa apakah yang paling besar di sisi Allah?” Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menjawab, “Engkau menjadikan sekutu bagi Allah, sedangkan Dia-lah yang menciptakanmu.” Ibnu Mas’ud radhiyallahu anhu bertanya lagi, “Lalu apa lagi?” Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menjawab, “Kemudian Engkau membunuh anakmu karena takut mereka akan ikut makan bersamamu.” Ibnu Mas’ud radhiyallahu anhu bertanya lagi, “Lalu apa lagi?” Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menjawab, “Kemudian berzina dengan istri tetanggamu.” HR. Bukhari no. 7520 dan Muslim no. 86 Wahai orang tua, jangan bunuh dan jangan buang anakmu, karena banyaknya keturunan adalah satu hal yang dianjurkan dan terpuji. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Nikahilah wanita yang besar cintanya kepada suami dan yang subur. Karena aku berlomba-lomba untuk memperbanyak jumlah umatku dibandingkan umat yang lainnya.” HR. Abu Dawud. [] SUMBER
Danjanganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezeki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar. Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk. "Bagaimana aku takut miskin sedangkan aku adalah hamba dari sang maha kaya."~ Tulisan ini hanya akan sekedar jadi tulisan jika tidak ditanamkan ke dalam hati, rasa takut itu ada karena terbiasa. Rasa was-was yg sudah tertanam dalam diri kita dari kecil. Kita terlalu khawatir akan dunia, kita terlalu khawatir akan sesuatu yg sebenarnya bisa dikatakan itu urusan tuhan. Kita takut di masa depan yang di luar jangkauan kita, misalnya soal pekerjaan, soal rejeki. Bagaimana jika kita sudah tidak bekerja lagi, kalau sudah tidak bekerja bagaimana kita bisa makan? Padahal masa depan itu urusan tuhan, kita urus saja urusan kita di dunia ini yaitu BEKERJA. Hal yang ditakutkan sebagian orang tentang rejeki adalah bagi mereka yang mencari rejeki dengan cara berdagang. Soal rejeki, banyak tidaknya yg kita terima itu semua sudah tuhan yang ngatur. Kita tidak tau apa yg akan terjadi di masa depan dan kita tidak akan pernah tau. Jangan Takut Soal Kemiskinan Kekhawatiran kita adalah kekhawatiran semu akan sesuatu yg tidak pasti. Tugas manusia hanyalah berusaha, yg dinilai adalah proses kita berusaha. Soal hasil, insyaallah tidak akan berkhianat dan biarkan tuhan yang mengaturnya, kita hanya perlu kerja, ibadah dan berbuat yang terbaik. Bahkan ada salah satu ayat berbunyi Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya dan tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia. QS. Ar-Ra'd11 Kita tidak boleh menyalahkan keadaan, keadaan terjadi adalah karena sebab akibat dari diri kita sendiri. Misalnya saja jika terjadi musibah, bisa jadi itu karena cobaan atau bisa juga jadi itu karena hukuman. Yang harus kita salahkan adalah diri kita dalam menghadapi suatu keadaan. Saya suka dengan kalimat dari Ali bin Abi Thalib Ra yang seperti ini “Bukan kesulitan yang membuat kita takut, tapi ketakutan yang membuat kita sulit. Karena itu jangan pernah mencoba untuk menyerah dan jangan pernah menyerah untuk mencoba dalam amanah, keikhlasan dan kejujuran. Maka jangan katakan pada Allah aku punya masalah, tetapi katakan pada masalah AKU PUNYA ALLAH Yang Maha Segalanya” Balik lagi ke tulisan kita di awal Bagaimana aku takut miskin sedangkan aku adalah hamba dari sang maha kaya. Menanamkan tulisan diatas akan membuat hati kita jadi tentram karena kita tidak perlu lagi memikirkan hal yg bukan utusan kita, hal yg memang tidak pasti. Berusahalah, lakukan yang terbaik. Niscaya kamu akan mendapatkan imbalannya. Tidak semua orang bisa melakukan makna dari tulisan diatas, kebanyakan kita pasti takut kalau miskin, takut kalau tidak punya uang. Jujur saja saya juga gitu, saya tidak munafik kok. Saya yakin kamu juga begitu tapi kalau tidak berarti kamu hebat. Lagian kenapa harus takut? Karena memang dari awal kita sudah miskin. Coba renungkan apa coba yang hakikatnya itu milik kita? Tubuh aja misalnya, kita lahir kita itu ga punya apa-apa, baik tangan, kaki, mata telinga dan yang lainnya. Itu semua hanya titipan, kita dititipi tuhan untuk menggunakannya dengan baik. Semua yg kita miliki serba titipan. Kalau samg pemilik mau ngambil kita bisa apa coba? Harusnya kita bersyukur kalau kita terlahir dengan sempurna karena ada banyak orang yang tidak diberi titipan sebanyak kita. Contohnya, ada org yg tidak bisa melihat, ada org yg tidak bisa mendengar, berjalan, memegang dan masih banyak lagi. Pernahkan kalian memikirkan mereka? Kita harus bersyukur kita dititipi pemberian sebanyak ini, kaki misalnya. Kaki utu mahal banget harganya, apalagi mata. Apa kalian mau menjual kaki kalian seharga satu milyar untuk masing-masing kakinya? Saya tidak tau apakah mayoritas orang akan mau atau tidak tetapi kalau saya jelas tidak mau. Karena saya ingin bisa berjalan, apalagi ini adalah pemberian tuhan yang harus kita jaga dengan baik. Kita harus bisa mengarahkan kemana kaki kita melangkah, apakah itu ke arah kebaikan atau arah keburukan. Yang jelas semua itu akan selalu ada pertanggung jawabannya. Kalau kalian misal menjawab mau menjual kaki, yaa silahkan. Kalau tidak, makanya manfaatin sebaik-baiknya. "Sekaramg saya coba menanamkan kata kata ini supaya ga khawatir lagi soal uang. Kenapa? Yaa soalnya kalau dipikirkan terus uangnya tidak bakalan nambah. Yang dipikirin bukan duitnya dan berapa hasilnya tetapi bagaimana cara nyari duitnya, baru dikira-kira brp hasilnya? Ada ga cara yg lain yg lebih menguntungkan?... Intinya dicari aja pasti dapat rejekinya... Soal nominal yaa seharusnya cukup lhaa, karena rejeki pemberian tuhan itu cukup untuk hidup bukan untuk gaya hidup. Yang Penting Cukup Kita harus selalu belajar sabar saat kita sedang tidak punya apa-apa apalagi saat tidak punya uang. Apakah kita tidak boleh minta menjadi kaya? Tentu sangat boleh tetapi jangan sampai kekayaan itu membuat kita lupa akan keberadaan Tuhan Yang Maha Kaya hingga membuat kita sombong dan tidak berbuat kebaikan, menggunakan harta kita untuk sesuatu yang tidak dibawa saat kita telah mati. Saat miskin pula dan kita tidak memiliki uang sepeserpun jangan lupa juga kalau kita masih punya Tuhan Yang Maha Kaya Yang penting cukup, cukup untuk makan, cukup untuk beli hp, cukup untuk beli rumah. Yah dan semacamnya, walau makna cukup sendiri berbeda bagi setiap orang karena setiap orang punya kebutuhan dan kewajibannya masing-masing. Entah karena tuntutan hidup atau karena gaya hidup. Belajar Sabar Rejeki bukan selalu menyangkut soal uang dan materi, karena rejeki maknanya luas. Misalnya kita tidak sakit saja itu sudah termasuk rejeki, keluarga tidak sakit, anak, istri ataupun suami itu pun termasuk rejeki. Saat kita dalam kesulitan entah itu soal harta ataupun hutang, kita harus belajar sabar. Karena tuhan akan selalu bersama orang yang sabar. Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. QS 2-153 Yang jelas perihal hutang kita harus niat untuk melunasinya jika memang kita punya hutang karena hutang itu akan dibawa sampai ke akhirat nanti. Yah, kalau belum punya setidaknya berusahalah untuk tidak berhutang. Ini adalah tulisan renungan bagi saya sendiri, sebenarnya ide tulisan ini sudah lama saya tulis dan ada di notepad hp android saya. Pengingat kalau dunia ini yang dikejar bukan cuma harta. Ayat31. QS. Al-Isra' Ayat 31. وَلَا تَقْتُلُوْٓا اَوْلَادَكُمْ خَشْيَةَ اِمْلَاقٍۗ نَحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَاِيَّاكُمْۗ اِنَّ قَتْلَهُمْ كَانَ خِطْـًٔا كَبِيْرًا. 31. Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut miskin LARANGAN MEMBUNUH ANAK KARENA TAKUT MISKINOleh Ustadz Nurkholis bin Kurdianوَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلَاقٍ ۖ نَحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَإِيَّاكُمْ ۚ إِنَّ قَتْلَهُمْ كَانَ خِطْئًا كَبِيرًاDan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kami-lah yang akan memberi rizqi kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar. [al-Isrâ’/1731]PENJELASAN AYAT Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla -lah yang memberi keluasan rizqi kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya sebagai ujian baginya, apakah dia mensyukurinya atau bahkan mengkufurinya? Dia juga yang menyempitkan rizqi bagi siapa saja yang dikehendaki-Nya, sebagai cobaan pula baginya, apakah dia bersabar atau tidak? itu semua merupakan pengetahuan dan kebijaksanaan Allah Azza wa Jalla atas kita sudah mengetahui bahwa kaya dan miskin itu adalah ujian dari Allah Azza wa Jalla semata, maka bukankah dibalik ujian tersebut terdapat hikmah dan pahala yang besar? Terutama jika seorang hamba lulus dalam ujian tersebut? Pasti dia akan mendapatkan balasan yang besar dan kedudukan yang tinggi di sisi-Nya. Oleh karena itu, hendaknya seorang hamba tetap bersyukur dan bersabar dalam keadaan bagaimanapun dengan tetap melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi antara larangan Allah Azza wa Jalla atas hambanya adalah membunuh anak-anaknya karena takut kemiskinan. Allah Azza wa Jalla melarang hal tersebut di dalam ayat ini karena kebiasaan bangsa Arab di zaman jahiliyah adalah membunuh anak-anak mereka karena takut miskin dan aib. Kemudian Allah Azza wa Jalla menjelaskan bahwa yang menanggung dan memberi rizqi anak-anak mereka juga rizqi mereka adalah Allah Azza wa Jalla semata[1] , sudah jelas kiranya bahwa bukanlah mereka yang memberi rizqi kepada anak-anak mereka, akan tetapi Allah Azza wa Jalla -lah yang memberi rizki bahkan sebenarnya mereka sendiri pun tidak mampu untuk memberi rizki kepada diri mereka sendiri. Maka, tidak pantas bagi mereka merasa keberatan untuk membiarkan anak-anak mereka hidup bersama mereka.[2]PERBANDINGAN AYAT DI ATAS DENGAN AYAT YANG SEMISALNYA Di dalam ayat yang lain Allah Azza wa Jalla berfirman وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ مِنْ إِمْلَاقٍ ۖ نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْDan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena sebab kemiskinan. Kam-ilah yang akan memberikan rizqi kepadamu dan juga kepada mereka. [al-An’âm/6151]Dalam ayat ini Allah Azza wa Jalla menyebutkan مِنْ إِمْلاقٍ karena sebab kemiskinan. Hal ini menunjukkan bahwa orang tua dari anak tersebut dalam keadaan miskin, maka dari itu Allah Azza wa Jalla mendahulukan penyebutan orang tua dari pada anaknya di dalam firmannya نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْ sebagai kabar gembira bagi orang tua yang miskin, bahwasanya kemiskinan itu akan diangkat oleh Allah Azza wa Jalla dengan memberi rizki kepada mereka dan kepada anak-anak mereka sehingga mereka dilarang membunuh anaknya karena sebab kemiskinan tersebut.Sedangkan di dalam ayat sebelumnya disebutkan خَشْيَةَ إِمْلاقٍ karena takut terjatuh di dalam kemiskinan, ini menunjukkan bahwa orang tua dari anak tersebut dalam keadaan mampu dan kaya, kemudian alasan membunuh anaknya adalah karena takut terjatuh ke dalam kemiskinan. Maka dari itu Allah Azza wa Jalla mendahulukan penyebutan anak mereka dahulu kemudian para orang tua di dalam firmannya نَّحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَإِيَّاكُم sebagi penjelasan bagi mereka, bahwasanya yang memberi rizki anak-anak mereka adalah Allah Azza wa Jalla semata, bukan mereka. Jadi, kedua ayat ini memiliki dua makna yang berbeda, yaitu1. Orang tua dilarang membunuh anaknya meskipun dia dalam keadaan miskin. 2. Orang tua yang kaya yang takut miskin dilarang pula membunuh anaknya karena sebab itu.[3]KASIH SAYANG ALLAH AZZA WA ZALLA SANGAT BESAR TERHADAP HAMBA-NYA Allah Azza wa Jalla adalah dzat yang Maha pengasih dan Maha penyayang, dan di antara perwujudan kasih sayang-Nya terhadap hamba-Nya terlihat pada ayat di atas. Allah Azza wa Jalla melarang para orang tua membunuh anak mereka dengan alasan apapun kecuali yang telah dibenarkan syari’at. [4]Imam Ibnu Katsîr rahimahullah berkata, “Ayat ini menunjukkan bahwa kasih sayang Allah Azza wa Jalla terhadap hamba-Nya melebihi kasih sayang orang tua terhadap anaknya. Karena itu, Allah Azza wa Jalla melarang orang tua membunuh anaknya, sebagaimana Dia juga mewasiatkan kepada orang tua untuk memberikan bagian harta warisannya kepada anaknya.[5]Hal ini juga sebagaimana disebutkan pada hadits berikutعَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَدِمَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَبْيٌ فَإِذَا امْرَأَةٌ مِنْ السَّبْيِ قَدْ تَحْلُبُ ثَدْيَهَا تَسْقِي إِذَا وَجَدَتْ صَبِيًّا فِي السَّبْيِ أَخَذَتْهُ فَأَلْصَقَتْهُ بِبَطْنِهَا وَأَرْضَعَتْهُ فَقَالَ لَنَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتُرَوْنَ هَذِهِ طَارِحَةً وَلَدَهَا فِي النَّارِ قُلْنَا لاَ وَهِيَ تَقْدِرُ عَلَى أَنْ لاَ تَطْرَحَهُ فَقَالَ لَلَّهُ أَرْحَمُ بِعِبَادِهِ مِنْ هَذِهِ بِوَلَدِهَا. رواه البخاري ومسلمDari Umar bin Khattâb Radhiyallahu anhu berkata, “Telah datang tawanan perang kepada Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, tiba-tiba ada seorang perempuan di antara tawanan itu mencari anaknya untuk disusuinya karena air susunya telah memenuhi teteknya, kemudian ia menemukan anaknya di antara para tawanan, lalu diambinya anak tersebut dan diletakkan di atas perutnya dan disusuinya. Maka Nabi n bersabda kepada kami, “Bagaimana menurut kalian, apakah mungkin seorang ibu ini melemparkan anaknya ke dalam api? Kami menjawab,”Tidak mungkin karena dia mampu untuk tidak melemparkannya. Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,”Sungguh kasih sayang Allah Azza wa Jalla terhadap hamba-Nya melebihi kasih sayang seorang ibu ini terhadap anaknya. [ dan Muslim][6]MEMBUNUH ANAK KANDUNG ADALAH DOSA BESAR. Membunuh anak sendiri dengan cara apapun termasuk dosa besar. Baik membunuhnya itu setelah si anak dilahirkan ke dunia ini ataupun masih di dalam kandungan ibunya dengan cara aborsi atau yang lainnya. Pelakunya mendapat ancaman adzab yang pedih dari Allah Azza wa Jalla .Pada akhir ayat di atas Allah Azza wa Jalla berfirmanإنَّ قَتْلَهُمْ كَانَ خِطْءًا كَبِيرًاSesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar [al-An`âm/6151]Allah Azza wa Jalla menjelaskan bahwa membunuh anak kandung termasuk dosa besar, karena rasa kasih sayang dari hati hilang dan itu merupakan kezaliman yang besar terhadap anak mereka yang tidak bersalah dan berdosa.[7]Syaikh Syingqîthy[8] rahimahullah berkata, “Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah menjelaskan makna dari penggalan ayat di atas, bahwa ketika beliau ditanya oleh `Abdullâh bin Mas’ûd Radhiyallahu anhu ,” Dosa apakah yang paling besar? Beliau menjawab,”Jika kamu mengadakan tandingan bagi Allah Azza wa Jalla , padahal Dia-lah yang menciptakanmu. Dia bertanya lagi,”Kemudian apalagi?” Beliau menjawab,”Jika kamu membunuh anakmu karena takut tidak bisa memberi makan kepada mereka. Dia bertanya lagi,”Kemudian apalagi?” Beliau menjawab,”Jika kamu berzina dengan istri tetanggamu”, kemudian beliau membaca ayat yang artinya “Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah Azza wa Jalla dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah membunuhnya kecuali dengan alasan yang benar, dan tidak berzina. Barang siapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya dia mendapat pembalasan dosanya.[9]Ayat dan hadits di atas menunjukkan bahwa membunuh anak kandung dengan tanpa sebab yang syar’i termasuk dosa Sa’di rahimahullah berkata, “Jika mereka dilarang membunuh anak mereka karena sebab kemiskinan, maka membunuh anak mereka dengan tanpa ada sebab apapun atau membunuh anak orang lain lebih dilarang lagi.[10]APAKAH AZL TERMASUK YANG DILARANG ? Para Ulama berbeda pendapat mengenai azl ini, ada yang berpendapat haram, ada juga yang berpendapat makrûh dan ada pula yang berpendapat al-Quthûbi rahimahullah berkata, “Orang yang berpendapat bahwa azl itu dilarang berdalil dengan ayat di atas, karena al-Wa’du mengubur atau membunuh anak adalah menghilangkan sesuatu yang ada dan keturunannya, sedangkan azl adalah upaya mencegah cikal bakal keturunan, maka sama halnya dengan al-Wa’du mengubur atau membunuh keturunan.Kemudian beliau juga berkata, akan tetapi bedanya adalah membunuh anak itu lebih besar dosanya dari pada azl, oleh karena itu sebagian Ulama kami madzhab mâliki berkata,”Bisa difahami dari sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallampada hadits Judzâmah Radhiyallahu anhu ذَلِكَ الْوَأْدُ الْخَفِيِّAzl itu termasuk mengubur anak secara sembunyi” Bahwasanya hukum azl adalah makrûh bukan haram, dan ini adalah pendapat sebagian para sahabat dan selainnya [11]Kemudian yang mengatakan azl itu mubah boleh adalah pendapat sebagian para sahabat juga para tâbi`în dan para fuqahâ’.[12] Pendapat ini adalah pendapat yang kuat. Wallâhu a’ hadits yang diriwayatkan oleh Jâbir Radhiyallahu anhu berkata أَنَّ رَجُلاً أَتَى رَسُولَ اللَّهِ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- فَقَالَ إِنَّ لِى جَارِيَةً هِىَ خَادِمُنَا وَسَانِيَتُنَا وَأَنَا أَطُوفُ عَلَيْهَا وَأَنَا أَكْرَهُ أَنْ تَحْمِلَ. فَقَالَ اعْزِلْ عَنْهَا إِنْ شِئْتَ فَإِنَّهُ سَيَأْتِيهَا مَا قُدِّرَ لَهَا ». رواه ada seorang laki-laki datang kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallamdan berkata; sesungguhnya aku mempunyai budak perempuan, dia sebagai pembantu dan pemberiku minum, dan aku ingin menggauli dia, akan tetapi aku benci kalau dia hamil, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallammenjawab;”Lakukanlah ’azl jika kamu menghendakinya, maka Allah Azza wa Jalla akan mentakdirkan bagi si budak perempuanmu Hamil atau tidaknya [ juga sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallamماَ عَلَيْكُمْ أَنْ لاَ تَفْعَلُوْا مَا مِنْ نِسْمَةٍ كاَئِنَةٍ إِلَى يَوْمِ الْقيِاَمَةِ إِلاَّ وَهِيَ كَائِنَةٌ. رواه البخاريTidak diwajibkan atasmu untuk meninggalkannya azl, karena tidak ada makhluk yang bernyawa yang diinginkan Allah Azza wa Jalla keberadaannya di muka bumi ini sampai hari kiamat, kecuali dia akan ada. [ Hadits di atas dan yang semakna menunjukkan bahwa hukum azl adalah mubâh boleh[15]Sedangkan pada hadits Judzâmah Radhiyallahu anhu di atas, yang menyebutkan bahwa azl itu wa’dun khafi adalah bantahan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam terhadap orang yahudi yang mengatakan bahwa azl adalah wa’dus shugra, karena penamaan mereka ini mengandung arti wa’dun dzâhir pembunuhan yang sebenarnya meskipun kecil. Jadi, penyebutan Rasulullah azl sebagai wa’dun khafi tidak sama hukumnya dengan wa’dun dzâhir. Maka hukum wa’dun khafi adalah mubah sedangkan hukum wa’dun dzâhir adalah haram. Penyebutan itu juga sebagai bantahan atas keyakinan mereka bahwa azl adalah penentu tidak terjadinya kehamilan. Kemudian Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam menjelaskan bahwasanya jika Allah Azza wa Jalla menghendaki terjadinya kehamilan meskipun dengan azl, maka kehamilan itu akan terjadi. Jika Allah Azza wa Jalla tidak menghendaki, maka kehamilan itu tidak akan terjadi. Jika demikian, maka azl itu bukanlah wa’dun hakîki pembunuhan yang sebenarnya oleh karena itu disebut sebagai wa’dun khafi.[16]PELAJARAN DARI AYAT 1. Diharamkan membunuh anak yang sudah lahir maupun yang masih di dalam kandungan Membunuh anak kandung sendiri karena malu atau takut miskin adalah termasuk dosa besar apalagi membunuhnya tanpa ada alasan, atau bahkan membunuh anak orang lain, maka hal ini sangat Kasih sayang Allah Azza wa Jalla terhadap hamba-Nya melebihi kasih sayang orang tua terhadap Terdapat kabar gembira bagi orang tua yang miskin maupun yang takut miskin, bahwasanya Allah Azza wa Jalla yang memberi rizki mereka semua, maka hendaknya mereka tetap bersabar dan tidak membunuh anak kandung Hukum azl adalah 1. Aisarut-Tafâsîr, Abu bakar Jâbir al-Jazâiri, maktabah ulûm wal hikam, Madînah. Cetakan ke-lima H/2003M. 2. Adhwâ-ul Bayân fî idlâhil-qur’ân bil-qur’ân, Muhammad al-Amîn asy-Syinqîthi, maktabah dârul-fikr Beirut – Lebanon. Cetakan H/ M. 3. Tafsîrul-qur’ânil-adzîm, al-Hâfidz Abul fidâ’ Ismâ’îl bin Umar bin Katsîr al-Qurasyi, Dârut-Taibah Riyâdl-KSA. Cetakan kedua H/ M. 4. Al-Jâmi’ li-Ahkâmil Qur’ân, Abu `Abdillâh Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr bin Farah al-Anshâri al-Qurthûbi, Dâr Alâmul-kutub – Riyâdl–KSA. Cetakan 23 H/ M. 5. Al-Bahrul Muhîth, Muhammad bin Yûsuf Abu Hayyân al-Andâlusi, Dârul-Kutub al-Ilmiyyah – Beirut. Cetakan pertama H/ M. 6. Taisîrul karîmirrahmân fî tafsîri kalâmil Mannân, `Abdurrahmân bin Nâshir bin as-Sa’di, Muassasah ar-Risâlah – Beirut. Cetakan pertama tahun 1420 H- tahun 2000 M. 7. Shahîh Bukhâri, Muhammad ibn Ismâ’îl al-Bukhâri. Tahqîq Dibul bugha. Dâr Ibnu Katsîr Beirut. Cetakan 3. Tahun 1407 H – 1987 M. 8. Shahîh Muslim, Abul-Husein Muslim bin al-Hajjâj an-Naisâbûri, Dârul-Jîl dan Dârul-Auqâf al-jadîdah– Beirut. 9. Fathul Bâri sarhu shahîhil Bukhâri. Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqalâni. Dârul ma’rifah – Beirut. 10. Fatwa Lajnah Dâ’imah al-Majmû’ah al-Ulâ. al-Lajnah Dâ’imah Lil Buhûts al-Ilmiyyah Wal Iftâ’.[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XIII/Jumadil Tsani 1430/2009M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196] _______ Footnote [1]. Aisarut tafâsîr Juz 3/Hal 191. [2]. Tafsîr as-Sa’di Juz 1/Hal 279 dengan merubah dhamîr mukhâtabîn ke ghâibîn untuk menyelaraskan siyâqul kalâm. [3]. Tafsîr Bahrul Muhîth Juz 4/Hal 251-252. [4]. Seperti jika orang tua tersebut sebagai penguasa suatu negeri kemudian anaknya murtad maka boleh bagi dia untuk membunuh anaknya. [5]. Tafsir Ibnu katsîr Juz 5/Hal 71. [6]. Shahîh Bukhâri Juz 5/Hal 2235. Shahîh Muslim Juz 8/Hal 97. [7]. Tafsir as-Sa’di Juz 1/Hal 457. [8]. Adhwâ’ul bayân Juz 7/Hal 144. [9]. Shahîh Bukhâri Juz 4/Hal 1784. [10]. Tafsîr as-Sa’di Juz 1/Hal 279 [11]. Tafsîrul-Quthûbi Juz 7/132. [12]. Tafsîrul-Quthûbi Juz 7/132. [13]. Shahîh Muslim Juz 4/Hal 160. [14]. Shahîh Bukhâri Juz 4/Hal 1516. [15]. Fatwa lajnah dâ’imah Juz 19/Hal 309. [16]. Fathul Bâri Juz 9/Hal 309 dengan diringkas. Home /A8. Qur'an Hadits3 Tafsir.../Larangan Membunuh Anak Karena...AllahSwt. telah berfirman: Dan janganlah kalian membunuh anak-anak kalian karena takut kemiskinan. Kami akan memberi rezeki kepada kalian dan kepada mereka. (Al-An'am: 151) Adapun firman Allah Swt.: Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar. (Al-Isra: 31) Maksudnya, perbuatan dosa besar.
MAFHUM AL-MUWAFAQAH DAN MAFHUM AL-MUKHALAFAH PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ilmu us}u>l al-fiqh adalah ilmu yang berdasarkan pada ijtihad para mujtahid dengan sumber utamanya al-Qur’an dan hadith. kajian ilmu us}u>l al-fiqh terletak pada dila>lah petunjuk yang ada dalam teks mengenai makna maupun petunjuk lainnya seputar teks. Dari sisi penunjukkan lafaz, para Ulama’ us}u>l membagi dilalatul alfadz’ ini atas berlakunya hukum menjadi dua metode, 1 Metode Ulama Hanafiah 2 Metode Ulama Mutakallimin. Penunjukkan lafadz menurut ulama’ hanafiah terbagi menjadi empat macam dila>lah ibarah, dila>lah nash, dan dila>lah iqtidha>. Adapun penunjukkan lafadz menurut Ulama mutakallimi>n dibagi menjadi dua, mant}u>q dan mafhu>m. Yakni berusaha menemukan maksud pembicara baik yang tersurat mant}u>q maupun yang tersirat mafhu>m. Perbedaan produk istinbat ulama’ salah satunya disebabkan karena perbedaan pendapat tentang sahnya penggunaan mafhu>m sebagai hujjah. PEMBAHASAN A. Mafhum Definisi mafhu>m adalah ما دل عليه اللفظ لا في محل النطق بأن يكون حكما لغير المذكور وحالا من أحواله . “Penunjukkan lafadz menurut yang tidak disebutkan bahwasanya berlakunya hukum bukan berdasar yang disebutkan” [1] Misalnya, firman Allah وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا “Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan "ah" 1723 Ayat ini menunjukkan dan dapat dilihat dari sisi mafhu>mnya pelarangan memukul orang tua. Contoh lainnya dalam QS. An-Nisa 425. وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُمْ طَوْلًا أَنْ يَنْكِحَ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ فَمِنْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ مِنْ فَتَيَاتِكُمُ الْمُؤْمِنَاتِ… “Dan Barangsiapa diantara kamu orang merdeka yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki..”. Ayat ini menunjukkan haramnya atau tidak bolehnya menikahi hamba sahaya yang tidak beriman. Dua hal diatas ini menunjukkan atas lafadz berdasar dengan yang tidak disebutkan mafhu>m.[2] Mafhu>m terbagi menjadi dua, yaitu 2. Mafhu>m al-Mukha>lafah B. Mafhu>m al-Muwa>faqah Mafhu>m Al-muwa>faqah adalah دلالة اللفظ على ثبوت حكم المنطوق به للمسكوت عنه وموافقته له نفيا أو إثباتا لاشتراكهما في معنى يدرك من اللفظ مجرد بمعرفة اللغة دون الحاجة إلى بحث واجتهاد. “Penunjukkan lafadz atas berlakunya hukum dari masalah yang disebutkan mant}u>q bagi masalah yang tidak disebutkan masku>t dan penyesuaiannya baik secara tidak pasti nafy atau tidak pasti ithba>t bagi pelibatan keduanya atas makna dan dapat diketahui dengan hanya memahami bahasa tanpa memerlukan nalar dan ijtihad ”.[3] 1. Pembagian Mafhu>m al-Muwa>faqah Ditinjau dari masalah yang tidak disebutkan maskut lebih utama ataukah sama dari yang disebutkan mant}u>q, mafhu>m al-muwa>faqah terbagi menjadi dua, yaitu a Fah}w al-Khit}a>b yaitu apabila yang dipahamkan lebih utama hukumnya daripada yang diucapkan/mant}u>qnya. Misalnya, firman Allah وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا “Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka”. 1723 Pernyataan ayat ini menunjukkan larangan mengatakan uff’ karenanya disebut mant}u>q. Adapun larangan memukul adalah masku>t yang tidak disebutkan. Karena kedua makna ini masuk dalam makna menyakiti’ yang difahami dari lafadz uff’ bahkan memukul pelarangannya lebih utama. b Lah}n al- Khit}a>b Apabila yang tidak diucapkan sama hukumnya dengan diucapkan. Seperti memakan membakar harta anak yatim tidak boleh berdasarkan firman Allah SWT إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, Sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala neraka. An-Nisa 410 Dari ayat di atas, dapat disimpulkan bahwa merusak dan membakar harta anak yatim atau menyia-nyikannya hukumnya juga haram.[4] Makna-makna ini mengacu pada satu hal, yaitu menghabiskan harta anak yatim secara lalim.[5] 2. Berhujjah dengan Mafhu>m Al-muwa>faqah Tidak ada perbedaan di antara para fuqaha dalam berhujjah dengan mafhu>m al-muwa>faqah, kecuali pendapat dari Ibn Hazm dan mazhab Zahiri bahwa tidak bisa berhujjah dengan mafhu>m al-muwa>faqah.[6] Karena mereka menganggapnya masuk dalam bab qiya>s, sedangkan mereka menafikan qiya>s. Namun para ahli us}u>l memperdebatkan mengenai dua hal, yaitu 1. Apakah ada persyaratan muna>sabah pada masku>t ’anhu atau tidak 2. Cara penetapan mafhu>m al-muwa>faqah, apakah mafhu>m al-muwa>faqah termasuk qiya>s dalalah qiya>siyah atau merupakan pemahaman langsung dari bahasa teks tersebut dalalah lafz}iyah.[7] Penjabaran dari kedua perbedaan pendapat di atas sebagai berikut a. perbedaan pendapat apakah dalam masku>t ’anhu perlu muna>sabah yang lebih berat atau tidak terdapat dua pendapat mengenai hal ini, yaitu 1. Pendapat Al-Amidi, Ibn H}a>jib, Al-Juwayni> dalam kitab Al-Burha>n menukil pendapat Al-Sya>fi’i>, dan pendapat Syi>’ah Ima>miyah berpendapat perlu adanya relevansi yang lebih kuat asyaddu muna>sabah dalam penalaran mafhu>m al-muwa>faqah. Contohnya keharaman memukul orang tua, relevansinya adalah menyakiti dengan memukul adalah lebih berat daripada ta’fi>f menyakiti dengan perkataan. Kelompok ini berpendapat pula bahwa hukum yang dimunculkan dengan munasabah yang sepadan bukanlah dengan penalaran mafhu>m al-muwa>faqah, melainkan dengan qiya>s. 2. Mayoritas ulama berpendapat dalam penalaran mafhu>m al-muwa>faqah tidak harus berupa relevansi yang lebih kuat asyaddu munasabah. Dengan munasabah yang sepadanpun dapat digunakan dalam penalaran mafhu>m al-muwa>faqah.[8] b. Perbedaan Pendapat Apakah Mafhu>m al-Muwa>faqah Termasuk qiya>s atau Dila>lah Lafz}iyah Penalaran Linguistik 1. Ahli hukum mazhab syafi’iah termasuk Syafi’i menganggap bahwa mafhu>m al-muwa>faqah sebagai bagian dari qiya>s dan merupakan jenis qiya>s yang lebih kuat.[9] Mafhu>m al-muwa>faqah melibatkan suatu penalaran inferensial, karena dalam penalaran ini bahasa teks tidak secara tersurat menyebutkan hukum masalahnya. Perbuatan memukul tidak dipahami berdasarkan ayat yang telah disebutkan sebelumnya. Adalah dengan jalan penalaran terhadap implikasi yang ditimbulkan dapat dipahami bahwa kata-kata hus’ mengandung arti menyakiti dan karena itu meliputi juga memukul. Pemahaman ini hanya dapat dilakukan melalui qiya>s. Mafhu>m al-muwa>faqah inilah merupakan jenis qiya>s yang paling kuat dan jelas jaly. 2. Para Mutakallimi>n, penganut Mazhab Zahiri, dan banyak teoritikus hukum Hanafi berpendapat bahwa ia bukan merupakan qiya>s, melainkan penalaran linguistik, di mana hukum dipahami sebagai implikasi dari bahasa teks itu sendiri.[10] Hukum yang disimpulkan berdasarkan mafhu>m al-muwa>faqah ini disimpulkan dari bahasa teks tanpa melalui ijtihad dan penyimpulan rasional serta dapat diketahui oleh setiap orang yang mengerti dan menguasai bahasa teks yang bersangkutan. Mafhu>m al-muwa>faqah bukan merupakan qiya>s karena qiya>s hanya dapat dipahami oleh ahli hukum sementara mafhu>m al-muwa>faqah dapat dipahami oleh semua orang yang dapat memahami bahasa. Pendapat yang menyatakan Mafhu>m al-muwa>faqah berbeda dengan qiya>s memiliki beberapa alasan, yaitu a. Dalam qiya>s tidak disyaratkan bahwa illat yang ada pada kasus cabang lebih relevan asyaddu munasabah daripada yang ada dalam kasus pokok, sementara itu dengan penalaran mafhu>m al-muwa>faqah, tidak mungkin terjadi tanpa relevansi yang lebih kuat dalam kasus cabang. b. Dalam qiya>s, kasus pokok tidak termasuk dan merupakan bagian dari kasus cabang, sementara dalam mafhu>m al-muwa>faqah, kasus yang disebutkan secara tersurat itu merupakan bagian dari kasus yang dipahami secara tersirat. Jadi dalam kasus bahwa Tuhan memberikan ganjaran terhadap perbuatan baik sekalipun sebesar atom, dipahami bahwa perbuatan baik yang lebih besar tentu lebih layak lagi diberi pahala. Terlihat bahwa perbuatan baik sebesar atom adalah bagian dari perbuatan baik yang lebih besar. [11]Atas dasar ini, maka mafhu>m al-muwa>faqah bukanlah merupakan bagian dari qiya>s akan tetapi penalaran murni linguistik. Ulama’ us}u>l al-fiqh lainnya berpendapat bahwa makna yang dipahami itu termasuk dalam cakupan lafal mant}uq melalui cara pemindahan makna yang lebih umum, sehingga mencakup mant}uq dan mafhu>m sekaligus, sesuai dengan ’urf kebiasaan bahasa[12] 3. Athar al-Ikhtila>f [13] Contoh implikasi hukum akibat perbedaan pendapat mengenai penggunaan Mafhu>m al-muwa>faqah yaitu perbedaan pendapat mengenai wajibnya kafarat bagi orang yang membatalkan puasa di siang hari bulan ramadhan tanpa sebab yang diperbolehkan. Di sini tidak ada perbedaan pendapat ulama’ bahwa orang yang membatalkan puasa karena jima’ di siang hari bulan ramadhan wajib membayar kafarat, yaitu memerdekakan budak, bila tidak mampu, maka berpuasa dua bulan berturut-turut, bila tidak mampu maka memberi makan enam puluh fakir miskin. Kafarat ini berdasarkan hadis riwayat Al Bukha>ri> No. 1800 Ba>b Iz}a Ja>ma’a fi> Ramad}a>n wa laysa lahu> Syai’ dari Abu> Hurayrah حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ أَخْبَرَنِي حُمَيْدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوسٌ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ جَاءَهُ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلَكْتُ قَالَ مَا لَكَ قَالَ وَقَعْتُ عَلَى امْرَأَتِي وَأَنَا صَائِمٌ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَلْ تَجِدُ رَقَبَةً تُعْتِقُهَا قَالَ لَا قَالَ فَهَلْ تَسْتَطِيعُ أَنْ تَصُومَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ قَالَ لَا فَقَالَ فَهَلْ تَجِدُ إِطْعَامَ سِتِّينَ مِسْكِينًا قَالَ لَا قَالَ فَمَكَثَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَيْنَا نَحْنُ عَلَى ذَلِكَ أُتِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعَرَقٍ فِيهَا تَمْرٌ وَالْعَرَقُ الْمِكْتَلُ قَالَ أَيْنَ السَّائِلُ فَقَالَ أَنَا قَالَ خُذْهَا فَتَصَدَّقْ بِهِ فَقَالَ الرَّجُلُ أَعَلَى أَفْقَرَ مِنِّي يَا رَسُولَ اللَّهِ فَوَاللَّهِ مَا بَيْنَ لَابَتَيْهَا يُرِيدُ الْحَرَّتَيْنِ أَهْلُ بَيْتٍ أَفْقَرُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِي فَضَحِكَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى بَدَتْ أَنْيَابُهُ ثُمَّ قَالَ أَطْعِمْهُ أَهْلَكَ Perbedaan pendapat ulama’ mengenai hal ini adalah dala>lah mafhu>m al-muwa>faqah mengenai kewajiban membayar kafarat bagi orang yang membatalkan puasa di siang hari bulan ramadhan dengan makan dan minum, bukan dengan jima’. Beberapa pendapat ulama’ antara lain 1. Hanafiyah, Malikiyah dan Syi>’ah Ima>miyah berpendapat kafarat wajib pula dibayar bagi orang yang membatalkan puasa di siang hari bulan ramadhan selain karena melakukan jima’. Karena illat hukum pada hadis ini adalah jina>yah atas sirnanya rukun puasa, yaitu imsa>k menahan diri. Pembatalan puasa dengan makan dan minum dengan penalaran mafhu>m al-muwa>faqah / dala>lah al-nas} termasuk dalam hukuman atas jima’ di siang hari bulan ramadhan yang telah disebutkan mant}u>q/’iba>rah al-nas}[14] 2. Sa’i>d ibn Jubayr, Al-Nakha’i>, Ibn Si>ri>n, Al-Sya>fi’i> dan Ah}mad berpendapat illat sirnanya rukun puasa pada hadis di atas adalah disebabkan jima’, bukan yang lain. Maka tidak wajib membayar kafarat bagi orang yang membatalkan puasa di siang hari bulan ramadhan selain karena melakukan jima’ dalam hal ini, makan dan minum[15] C. Mafhu>m al-Mukha>lafah Menurut Must}afa Sa’i>d al-Khin, Mafhu>m al-Mukha>lafah adalah دلالة اللفظ على ثبوت حكم المنطوق به للمسكوت عنه مخالف لما دل عليه المنطوق لانتفاء قيد من القيود المعتبرة فى الحكم yaitu penunjukan lafal atas tetapnya hukum kebalikan dari yang tersurat ketika ternafinya suatu persyaratan.[16] Mafhu>m juga disebut dengan dalî>l al-khit}a>b, karena dalilnya diambil dari jenis perintah itu sendiri. Misalnya, sabda Rasulullah saw. [17] فى الغنم السائمة الزكاة Bunyi mant}u>q yamg dikeluarkan hadist tersebut menunjukkan, bahwa Biri-biri Domba yang digembalakan dipadang rumput wajib dikeluarkan zakatnya, akan tetapi dengan menggunakan mafhu>m al-mukha>lafah dafat difahami, bahwa Biri-biri Domba yang dipelihara dibiayai tidak wajib dikeluarkan zakatnya. 1. Macam-Macam Mafhu>m al-Mukha>lafah Dalam pembagian mafhu>m al-al-mukha>lafah para ulama' us}u>lal-fiqh berbeda-beda pendapat. Ha>syim Jami>l Abd Allah menyebutkan ada empat jenis mafhu>m al-mukha>lafah, yaitu[18] Mafhu>m al-s}ifah adalah menetapkan hukum dalam bunyi mant}u>q suatu nash yang dibatasi diberi qayd dengan sifat yang terdapat dalam lafadz, dan jika sifat tersebut telah hilang, maka terjadilah kebalikan hukum tersebut.[19] Misalnya, firman Allah SWT QS. An-Nisa' ayat 25. وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُمْ طَوْلًا أَنْ يَنْكِحَ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ فَمِنْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ مِنْ فَتَيَاتِكُمُ الْمُؤْمِنَاتِ diperbolehkannya mengawini wanita-wanita budak dalam ayat tersebut adalah dibatasi diberi qayd dengan keimanan, oleh karena itu waita-wanita budak yang tidak beriman tidak halal untuk dinikahi. 2. Mafhu>m al-Syart} Mafhu>m as-syart} adalah menetapkan kebalikan suatu hukum yang tergantung pada syarat, jika syarat tersebut telah hilang.[20] Misalnya, firman Allah SWT. QS. Ath-Thalaq ayat 6 وَإِنْ كُنَّ أُولَاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ ayat tersebut menunjukkan bahwa kewajiban memberikan nafakah kepada isteri yang dicerai dan tengah menjalani masa 'iddah dibatasi jika isteri tersebut sedang dalam hamil. Dengan menggunakan mafhu>m al-mukhâlafah dapat dipahami, jika isteri yang dicerai tidak dalam keadaan hamil, maka bekas suaminya teidak berkewajiban memberikan nafkah. Sedangkan dengan mengunakan mafhu>m as-syart> dapat dipahami, bahwa bekas suami tidak wajib memberikan nafkah kepada isteri yang dicerai dan tengah menjalani masa 'iddah, kecuali isteri tersebut dicerai dengan thalaq raj'i atau sedang hamil. 3. Mafhu>m al-Gha>yah Mafhu>m al-gha>yah adalah menetapkan hukum yang berada diluar tujuan nash gha>yah, bila hukum tersebut dibatasi dengan tujuan gha>yah.[21] Hukum yang terjadi sesudah ghâyah tersebut berbeda dengan hukum yang terjadi sebelum gha>yah. lafaz ini gha>yah adakalnya ”ilaa” atau dengan ”tah}ta”. Misalnya, firman Allah SWT. QS. Al-Baqarah ayat 222 وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ ayat ini menunjukkan seorang suami diperbolehkan mencampuri isterinya setelah isteri tersebut suci dari haid. 4. Mafhu>m al-'Adad Mafhu>m al-'adad adalah penetapan kebalikan dari suatu hukum yang dibatasi dengan bilangan, ketika bilangan tersebut tidak terpenuhi.[22] Misalnya, firman Allah SWT. QS. An-Nur ayat 2 الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِئَةَ جَلْدَةٍ ayat ini menetapkan hukuman pukulan sebanyak seratus kali bagi siapa saja yang berzina, hukum pukulan tersebut tidak boleh dikurangi atau ditambah. Larangan ini adalah didasarkan pada mafhu>m almukha>lafah, yakni jika suatu hukuman sanksi telah ditetapkan ukurannya, maka tidak boleh ditambah atau dikurangi.[23] Selain keempat jenis mafhu>m al-mukha>lafah yang disebutkan Ha>syim Jami>l Abd Allah di atas, masih terdapat beberapa jenis mafhu>m al-mukha>lafah yang lain, yaitu 5. Mafhu>m al-Laqab Mafhu>m al-laqab adalah menggantungkan adanya sebuah hukum dengan isim 'alam atau isim nau' [24] . Seperti hadis nabi HR. Al-Bukha>ri> no. 2225 لَيُّ الْوَاجِدِ يُحِلُّ عُقُوبَتَهُ وَعِرْضَهُ Dengan penalaran mafhu>m al-mukha>lafah dapat diketahui bahwa penundaan pembayaran dari orang yang belum mampu membayar tidaklah dihukumi zalim. 6. Mafhu>m al-H}as}r Mafhu>m al-h}as}r adalah penetapan dari kebalikan suatu hukum dengan menggunakan lafadz-lafadz al-hashr, seperti lafadz "innama>, illa>", dan lain sebagainya.[25] Misalnya, firman Allah SWT. QS. An-Nisa’ ayat 171 إِنَّمَا اللَّهُ إِلَهٌ وَاحِدٌ ayat ini seyara manthuq menunjukkan bahwa sifat ketuhanan itu hanya terdapat pada tuhan yang satu yaitu Allah swt. sedangkan dengan mafhu>m al-mukha>lafah dapat dipahami, bahwa sifat ketuhanan itu tidak ada pada selain Allah. Para ulama us}u>lal-fiqh selain dari kalangan imam Abu Hanifah mengakui bahwa semua macam-macam dari mafhu>m al-mukha>lafah tersebut selain mafhu>m al-laqab dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan sebuah hukum. 2. Syarat-Syarat Diperbolehkannya Menjadikan Mafhu>m al-Mukha>lafah Sebagai Hujjah[26] Menurut A. Hanafi dalam bukunya Ushul Fiqh, diperlukan empat syarat agar mafhu>m al-mukha>lafah diperbolehkan menjadi hujjah, yaitu 1. Mafhu>m al-mukha>lafah tidak berlawanan dengan dalil yang lebih kuat, baik dalil mantuq maupun mafhu>m al-muwa>faqah. a. Contoh yang berlawanan dengan dalil mant}u>q وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلَاقٍ نَحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَإِيَّاكُمْ إِنَّ قَتْلَهُمْ كَانَ خِطْئًا كَبِيرًا “Jangan kamu bunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan” QS. Al-Isra’ ayat 31. Mafhu>mnya, kalau bukan karena takut kemiskinan dibunuh, tetapi mafhu>m al-mukha>lafah ini berlawanan dengan dalil manthuq, ialah وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَمَنْ قُتِلَ مَظْلُومًا فَقَدْ جَعَلْنَا لِوَلِيِّهِ سُلْطَانًا فَلَا يُسْرِفْ فِي الْقَتْلِ إِنَّهُ كَانَ مَنْصُورًا “Jangan kamu membunuh manusia yang dilarang Allah kecuali dengan kebenaran QS. Al-Isra’ ayat 33” b. Contoh yang berlawanan dengan mafhu>m al-muwa>faqah فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا “Janganlah engkau mengeluarkan kata yang kasar kepada orang tua, dan jangan pula engkau hardik QS. Al-Isra’ ayat 23. Yang disebutkan, hanya kata-kata yang kasar. Mafhu>m al-mukha>lafahnya boleh memukuli. Tetapi mafhu>m ini berlawanan dengan mafhu>m al-muwa>faqahnya, yaitu tidak boleh memukuli. 2. Yang disebutkan mant}u>q bukan suatu hal yang biasanya terjadi. Contoh QS An-Nisa’ ayat 23 حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا Dan perkataan “yang ada dalam pemeliharaanmu” tidak boleh dipahamkan bahwa yang tidak ada dalam pemeliharaanmu boleh dikawini. Perkataan itu disebutkan, sebab memang biasanya anak tiri dipelihara ayah tiri karena mengikuti ibunya. 3. Yang disebutkan mant}u>q bukan dimaksudkan untuk menguatkan sesuatu keadaan. Contoh HR. Al-Bukha>ri> No. 9 Ba>b al-Muslim Man Salima al-Muslimu>n min Lisa>nih wa Yadih عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ Dengan perkataan “orang-orang Islam Muslimin tidak dipahamkan bahwa orang-orang yang bukan Islam boleh diganggu. Sebab dengan perkataan tersebut dimaksudkan, alangkah pentingnya hidup rukun dan damai di antara orang-orang Islam sendiri. 4. Yang disebutkan mant}u>q harus berdiri sendiri, tidak mengikuti kepada yang lain.[27] Contoh وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ “Janganlah kamu campuri mereka isteri-isterimu padahal kamu sedang beritikaf di mesjid QS. Al-Baqarah ayat 187”. Tidak dapat dipahamkan, kalau tidak beritikaf dimasjid, boleh mencampuri 3. Perbedaan Pendapat tentang Penggunaan Mafhu>m Al-mukha>lafah Mafhu>m al-Mukha>lafah adalah sama dengan dila>lah nas} sebagaimana metode hanafiah. Dila>lah nash ini sering juga disebut dengan dengan fah}wa al-khit}a>byang berarti tujuan pembicaraan. Syafi’iyah menamakannya dengan mafhu>m al-al-muwa>faqah’. Sebagian Ulama lainnya menamakannya dila>lah al-dila>lah dan sebagian menamakannya al-qiyas al-jali.[28] Mengenai penggunaan mafhu>m al-mukha>lafah sebagai hujjah, terdapat dua pendapat, yaitu a. Mayoritas fuqaha>’ menggunakan mafhu>m al-mukha>lafah sebagai hujjah b. Ulama-ulama Hanafiah, menolak berhujjah dengan mafhu>m al-mukha>lafah [29] 4. Athar al-Ikhtila>f [30] Contoh implikasi hukum akibat perbedaan pendapat mengenai penggunaan Mafhu>m al-mukha>lafah yaitu 1. mengenai firman Allah ayat 25 وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُمْ طَوْلًا أَنْ يَنْكِحَ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ فَمِنْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ مِنْ فَتَيَاتِكُمُ الْمُؤْمِنَاتِ… Mayoritas ulama’ berpendapat terdapart dua syarat diperbolehkannya menikahi budak perempuan, yaitu ketidakmampuan menikahi perempuan merdeka dan budak perempuan itu syarat ini berdasarkan a. Mafhu>m as-Syar} yaitu firman Allah وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُمْ طَوْلًا menunjukkan larangan menikahi budak perempuan bagi laki-laki yang mampu menikahi perempuan merdeka. b. Mafhu>m sifat, yaitu firman Allah مِنْ فَتَيَاتِكُمُ الْمُؤْمِنَاتِ menunjukkan larangan menikahi budak perempuan ahli kitab Hanafiyah yang menolak penggunaan Mafhu>m al-mukha>lafah berpendapat kebolehan menikahi budak perempuan ahli kitab. 2. HR. Abu> Dawu>d No. 58 Ba>b Ma> Yunjisu al-Ma>’ فَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلْ الْخَبَثَ Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat najisnya air yang kurang dari dua qullah bila tercampur dengan sesuatu benda najis, baik air itu berubah atau tidak. Sedangkan Malikiyah yang juga menerima penggunaan Mafhu>m al-mukha>lafah sebagai dasar hukum, namun tidak menerima hadis ini, berpendapat berubahnya hukum air itu disebabkan berubahnya air, baik air itu sedikit atau banyak.[31] Dari sini, diketahui pula bahwa selain perbedaan dalam menerima mafhu>m sebagai hujjah, perbedaan pendapat para ulama’ juga disebabkan perbedaan penerimaan suatu hadis sebagai hujjah KESIMPULAN Kesimpulan dari pemaparan mengenai mafhu>m al-muwa>faqah dan mafhu>m al-mukha>lafah adalah 1. Mafhu>m adalah penunjukkan lafadz menurut yang tidak disebutkan bahwasanya berlakunya hukum bukan berdasar yang disebutkan. 2. Mafhu>m terdiri dari mafhu>m al-muwa>faqah dan mafhu>m al-mukha>lafah 3. Tidak ada perbedaan di antara para fuqaha dalam berhujjah dengan mafhu>m al-muwa>faqah, kecuali pendapat dari Ibn Hazm dan mazhab Zahiri bahwa tidak bisa berhujjah dengan mafhu>m al-muwa>faqah. Karena mereka menganggapnya masuk dalam bab qiya>s, sedangkan mereka menafikan qiya>s. Namun para ahli us}u>l memperdebatkan mengenai dua hal, yaitu Apakah ada persyaratan muna>sabah pada masku>t ’anhu atau tidak dan Cara penetapan mafhu>m al-muwa>faqah, apakah mafhu>m al-muwa>faqah termasuk qiya>s dalalah qiya>siyah atau merupakan pemahaman langsung dari bahasa teks tersebut dalalah lafz}iyah. Al-A>midi, Ibn H}a>jib, Al-Juwayni> dalam kitab Al-Burha>n menukil pendapat Al-Sya>fi’i>, dan pendapat Syi>’ah Ima>miyah berpendapat perlu adanya relevansi yang lebih kuat asyaddu muna>sabah dalam penalaran mafhu>m al-muwa>faqah. Mayoritas ulama berpendapat dalam penalaran mafhu>m al-muwa>faqah tidak harus berupa relevansi yang lebih kuat asyaddu munasabah. Dengan munasabah yang sepadanpun dapat digunakan dalam penalaran mafhu>m al-muwa>faqah. Ahli hukum mazhab syafi’iah termasuk Syafi’i menganggap bahwa mafhu>m al-muwa>faqah sebagai bagian dari qiya>s dan merupakan jenis qiya>s yang lebih kuat. Para Mutakallimi>n, penganut Mazhab Zahiri, dan banyak teoritikus hukum Hanafi berpendapat bahwa ia bukan merupakan qiya>s, melainkan penalaran linguistik, di mana hukum dipahami sebagai implikasi dari bahasa teks itu sendiri. Mengenai penggunaan mafhu>m al-mukha>lafah sebagai hujjah, terdapat dua pendapat, yaitu Mayoritas fuqaha>’ menggunakan mafhu>m al-mukha>lafah sebagai hujjah. Sedangkan Hanafiah, menolak berhujjah dengan mafhu>m al-mukha>lafah. DAFTAR PUSTAKA Abd al-Kari>m Zayda>n, Al-Waji>z fi> Us}u>l al-Al-fiqh, Beirut Muassasah al-Risala>h, 1998 Abdul Azis Dahlan Ed., Ensiklopedi Hukum Islam, Vol. 4 , Jakarta Intermasa, 1996 Ha>syim Jami>l Abd Allah, Masa>il min al- Fiqh al-Muqa>rin, Baghdad Al-Ja>mi’ah Bagda>d, 1989 Muh}ammad Abu> Zahrah, Us}u>l al-Al-fiqh Beirut Da>r al-Fikr al-Arabi,tt Mustafa Ibra>hi>m al-Zulmi>, Asba>b al-Ikhtila>fi al-Fuqaha>’ fi> al-Ah}ka>m al-Syar’iyyah Baghdad al-Ja>mi’ah Bagda>d, 1976 Must}afa Sa’i>d al-Khin, Atharu al-Ikhtila>f fi> al-Qawa>id al-Us}u>liyah f>i al-ikhtila>fi al-Fuqaha>’ , Beirut Muassasah ar-Risalah, 1994 Satria Efendi M. Zein, Ushul Fiqh, Jakarta Kencana, 2005 Wahbah al-Zuhayli>,Us}u>l al -fiqh al-Isla>mi Vol 1, Beirut Da>r al-Fikr. 409 147 303 163 269 299 140 362